TSM5GUMiTpM8BSd0BUG8TUz0TA==

Jeratan Hukum Pidana Terhadap Pengeroyokan Anak di Bawah Umur Mengakibatkan Kecacatan dan Kematian

Oleh : Ibnu Sakirin, M.Pd.,CPM.,CPHM.,CPArb

(Pengurus Harian LBH Narendradhipa)

INSPIRASIRAKYAT.COM - Tindak pidana pengeroyokan yang melibatkan anak di bawah usia 18 tahun, mencakup aksi kekerasan bersama-sama di depan umum. Yang dapat mengacaukan ketertiban umum, dan berpotensi menyebabkan cedera pada orang atau properti.
Menurut peraturan hukum, anak yang terlibat dalam perilaku kriminal tersebut dapat menghadapi proses hukum. Walaupun pada dasarnya, ada upaya seperti diversi yang bertujuan menyelesaikan kasus tersebut tanpa melibatkan peradilan formal. Anak yang terlibat dalam tindak pidana tersebut dapat dikenakan pidana penjara. Namun, terdapat elemen restoratif yang diperhatikan dalam penjara tersebut.

Regulasi hukuman bagi anak yang terlibat dalam pengeroyokan diatur oleh UU SPPA, dengan sanksi yang dapat mencakup kurungan, tetapi batasannya cenderung lebih rendah dibandingkan dengan hukuman yang dikenakan pada orang dewasa.

Pertanggungjawaban pidana merujuk pada kesadaran dan kemampuan seseorang saat melakukan tindakan kriminal. Dalam kasus anak-anak yang terlibat dalam tindak pidana, terdapat pertimbangan hukum khusus yang harus dipertimbangkan untuk menilai sejauh mana pertanggungjawaban mereka, termasuk diversi sebagai alternatif penyelesaian di luar sistem peradilan formal. 

Dengan melakukan tindakan yang melanggar hukum dan dapat diancam, seseorang yang melakukan perbuatan tersebut secara hukum dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Dalam konteks ini, penting untuk memahami bahwa terdapat perbedaan pendekatan dalam menilai pertanggungjawaban anak-anak yang terlibat dalam kejahatan, dan diversi menjadi salah satu jalur yang mempertimbangkan pendekatan restoratif untuk mencapai penyelesaian yang adil dan bermakna.

Pengaturan untuk anak yang melakukan tindak pidana mengikuti ketentuan KUHP dengan menyesuaikan kepada UU SPPA sebagai landasan untuk memutus perkara pidana oleh anak serta mengatur segala hal terkait dengan hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum.

Ditetapkan usia anak yang berkonflik dengan hukum, adalah anak yang sudah berusia 12 (dua belas) tahun sampai belum berusia 18 (delapan belas) tahun yang diduga telah melakukan tindak pidana ketetapan ini ada pada pasal 1 angka 3 UU SPPA. Dalam konteks anak yang berkonflik dengan hukum, undang-undang tersebut digunakan sebagai dasar pemidanaan anak yang mengutamakan keadilan restoratif melalui upaya diversi, selain itu pemidanaan anak dinyatakan pada pasal 71 ayat (1) dan (2) UU tersebut memiliki 2 macam pemidanaan yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Salah satu pidana pokok dalam pemidanaan anak berupa pidana penjara, pidana penjara lebih lanjut diatur dalam pasal 79 yang memberlakukan pidana penjara kepada anak yang melakukan pidana berat maupun perbuatannya yang disertai kekerasan.

Dengan mengutamakan keadilan restoratif maka dilakukan suatu upaya penyelesaian suatu perkara anak diluar peradilan pidana dengan dilakukan kesepakatan antara korban dan anak sebagai pelaku kejahatan untuk mencapai perdamaian sehingga pertanggungjawaban perkara pidana anak dapat diselesaikan tanpa proses peradilan sehingga anak terhindar dari perampasan kemerdekaan akibat perkara pidana dengan cara menggunakan upaya diversi. 

Anak dapat melakukan proses diversi apabila tindak pidana yang dilakukan bukan pengulangan dan ancaman pidana penjara terhadap anak dijatuhi pidana dibawah 7 tahun dan sebagaimana yang dinyatakan pada pasal 7 ayat 2 UU SPPA.

Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), UU SPPA menjadi landasan utama, tetapi pemerintah juga merumuskan peraturan lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 65 Tahun 2015. PP ini secara rinci membahas prosedur diversi, yaitu alternatif penyelesaian bagi anak yang berkonflik dengan hukum.

Ketentuan pemidanaan terhadap tindak kekerasan, khususnya pengeroyokan, oleh anak diatur dalam Pasal 79 UU SPPA. Pasal 79 UU SPPA menyatakan bahwa tindak pidana berat atau yang disertai kekerasan yang dilakukan oleh anak dapat dipidana sesuai dengan KUHP, asalkan tidak bertentangan dengan UU SPPA. Pidana penjara untuk anak dalam hal ini dibatasi maksimal setengah dari pidana penjara dewasa, dengan pengecualian pidana penjara minimum yang tidak berlaku bagi anak.

Untuk kasus pengeroyokan dengan akibat kecacatan atau kematian, KUHP Pasal 170 ayat (1) mengancam pidana penjara maksimal lima tahun enam bulan jika dilakukan secara terang-terangan dan bersama-sama di depan publik. Ayat (2) menyebutkan pidana maksimal tujuh tahun jika menyebabkan luka-luka, sembilan tahun jika luka berat, dan dua belas tahun jika mengakibatkan kematian.

Oleh karena itu, pengeroyokan yang dilakukan oleh anak, terutama jika bersifat massal dan di depan publik, dapat diproses sesuai Pasal 170 KUHP. Penting untuk dicatat bahwa dalam menentukan pidana penjara bagi anak, UU SPPA Pasal 79 harus menjadi pedoman utama, memastikan bahwa hukuman disesuaikan dengan kaidah-kaidah perundang-undangan yang berlaku dalam konteks perlindungan hak anak dan rehabilitasi.

Pertanggungjawaban Pidana oleh Anak Atas Pengeroyokan Yang Mengakibatkan Kecacatan dan Kematian, Pertanggungjawaban pidana dinyatakan sebagai pertanggungjawaban oleh orang terhadap suatu tindak pidana yang diperbuatnya . Suatu perbuatan disebut sebagai perbuatan pidana jika perbuatan tersebut merupakan suatu kesalahan yang telah diatur dalam undang – undang terlebih dahulu sebagaimana yang ditentukan oleh asas legalitas, tiada perbuatan yang dilarang serta diancam pidana apabila di dalam undang – undang tidak menentukan lebih dulu.

Maka setiap tindak pidana yang dilakukan oleh orang haruslah memuat kesalahan dari si pembuat untuk dapat dipertanggungjawabkan akibat dari suatu perbuatannya. Pertanggungjawaban pidana dapat dikenakan suatu pidana apabila telah memenuhi unsur kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan. Kemampuan bertanggungjawab seseorang dapat dimintai apabila orang itu dalam keadaan jiwa yang :

1) sehat tanpa mengidap suatu penyakit yang permanen maupun sementara (temporary); 2) normal secara pertumbuhannya ( tidak gagu, tidak idiot, dsb); 3) tidak terganggu karena terkejut, melindur. Dengan kemampuan jiwa yang pada hakekatnya mampu meinsyafi tindakannya, dapat menentukan tindakannya, dan mengetahui bahwa perbuatannya adalah perbuatan tercela (Sianturi & E.Y., 2012). 

Dapat dimintainya pertanggungjawaban pidana seseorang apabila unsur-unsur dari pertanggungjawaban pidana telah dipenuhi oleh orang itu, unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut : adanya perbuatan pidana yang telah dilakukan oleh orang; adanya unsur bahwa orang itu telah melakukan kesalahan; kemampuan orang dalam bertanggung jawab; dan tidak ada alasan pemaaf. Pertanggungjawaban pidana dapat dilakukan apabila seseorang telah melakukan suatu hal melawan hukum yang merupakan tindakan tercela dan orang itu dapat pertanggungjawaban kepada perbuatannya.

Selain unsur-unsur di atas mempertanggungjawabkan pidana juga dianggap terpenuhi apabila memenuhi unsur-unsur bahwa telah dilakukannya suatu tindak pidana, perbuatannya merupakan kesalahan baik sengaja maupun karena kelalaian, orang yang melakukan mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Menurut konsepnya pertanggungjawaban pidana dibedakan menjadi 2 macam yaitu pertanggungjawaban pidana mutlak dan pertanggungjawaban pidana pengganti. Pertanggungjawaban pidana mutlak merupakan suatu perbuatan pidana yang tidak mengecualikan adanya kesengajaan atau tidak terhadap suatu kesalahan (Afifah, 2014). Dalam menentukan perbuatan tersebut berlandaskan kepada suatu perbuatan khusus yang dilakukan itu membahayakan umum dan bersifat melawan hukum serta merupakan perbuatan yang menyimpang dari sosial (tidak biasa).

Pertanggungjawaban pidana pengganti didefinisikan sebagai pertanggungjawaban terhadap orang yang perbuatannya merupakan bukan kesalahan pribadi dengan kata lain seseorang bertanggung jawab atas perbuatan orang lain, namun untuk penerapannya pertanggungjawaban pidana pengganti wajib memuat adanya hubungan yang terjalin antara yang berbuat dengan yang bertanggung jawab dan perbuatan pidana yang dilakukan masih berkaitan dengan ruang lingkup penanggung jawab tersebut.

Pemberian sanksi kepada orang yang berbuat tindak pidana merupakan salah satu bentuk dari pertanggungjawaban pidana. Dasar dari adanya sanksi pidana adalah sebagai bentuk jaminan untuk pemulihan terhadap perilaku pelaku kejahatan itu sendiri, walaupun demikian tidak sedikit menimbulkan suatu ancaman untuk kebebasan manusia itu sendiri. 

Sanksi pidana merupakan suatu bentuk hukuman yang diberikan akibat melakukan perbuatan yang melawan hukum dan dapat dijatuhkan pemidanaan oleh lembaga yang berwenang. Berkaitan dengan sanksi pidana pada pasal 10 KUHP memaparkan pidana dapat berupa, yaitu : pidana pokok: pidana mati; pidana penjara; kurungan; denda, pidana tambahan: pencabutan hak-hak tertentu; perampasan barang-barang tertentu; pengumuman putusan hakim.

Pertanggungjawaban hukum terhadap anak yang terlibat dalam aksi pengeroyokan mengikuti ketentuan Pasal 170 KUHP dengan tegas. Untuk dikenai sanksi pidana penjara, beberapa unsur harus terpenuhi sesuai dengan pasal tersebut. 

Pertama, perbuatan tersebut harus dilakukan secara terang-terangan, di mana tindak kekerasan yang terjadi dapat dengan jelas terlihat oleh publik. 

Kedua, pengeroyokan harus melibatkan tenaga bersama, yaitu dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan kesengajaan yang sama. 

Ketiga, adanya unsur kekerasan mencerminkan serangan fisik seperti menendang, memukul, bahkan mungkin menggunakan senjata yang dapat mengakibatkan kerusakan pada ketertiban umum. 

Keempat, perbuatan tersebut harus mengakibatkan luka, merujuk pada timbulnya rasa sakit atau cedera fisik pada korban.

Sebagai akibatnya, apabila pengeroyokan oleh anak tersebut menyebabkan kematian seseorang, hukuman pidana akan diterapkan sesuai dengan Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP. Dalam hal ini, ketentuan pidana penjara Pasal 79 UU SPPA menjadi pedoman utama. Anak yang terbukti bersalah dapat dihukum dengan ancaman pidana penjara setengah dari maksimum yang diatur dalam Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP. 

Namun, penting untuk dicatat bahwa hakim anak memiliki keleluasaan untuk mempertimbangkan faktor-faktor tertentu dalam menjatuhkan hukuman, sesuai dengan prinsip-prinsip rehabilitasi dan perlindungan hak anak. Oleh karena itu, jika pidana penjara maksimal untuk orang dewasa dalam kasus serupa adalah 12 tahun, hakim anak dapat menjatuhkan hukuman maksimal 6 tahun penjara bagi anak, dengan mempertimbangkan aspek-aspek khusus yang terkait dengan usia dan kondisi perkembangan anak.

Type above and press Enter to search.